Senin, 28 Desember 2015

TRISULA

“It hurts because it matters”
Dalam mitologi Yunani kuno, ada dewa-dewa yang dipercaya mengendalikan alam semesta. Satu diantaranya, Poseidon sang penguasa laut, sungai dan danau. Poseidon punya senjata khas berupa trisula yang konon bisa meluluhlantakkan bumi saat dipukulkan.
Secara harfiah, trisula berarti tiga tombak. Sesuai dengan bentuknya yang mirip garpu besar dengan tiga ujung lancip. Kita bisa menjumpai “trisula” lewat lisan seseorang. Bentuknya berupa tiga pertanyaan sederhana yang menancap dan kerap mengusik emosi. Persoalan-persoalan ini akrab sekali dengan momen reuni.

1. “Kapan nyusul?”
Kata tanya kapan masih kedengeran oke sampai kita berusia 20-an. Dari saat itu, kapan punya rasa yang berbeda dengan apa, gimana, dimana, siapa dan kenapa. Terlebih lagi waktu ditanya di acara nikahan, maknanya jadi kapan nikah? Coba tanyain kapan nyusul? ke anak SD kelas satu. Dijamin, bikin bengong.
Kita yang ditanya, cengengesan sambil garuk belakang kepala. Dikiranya di belakang kepala ada jawaban. Tapi ternyata enggak. Supaya aman, kita menggulirkan kembali bola panas sama si penanya. Seberes topik pernikahan, kelak akan muncul kapan nyusul-kapan nyusul lain yang enggak ada habisnya.
Nyatanya, nikah beda dengan Moto GP dan kita bukan Rossi. Kenapa harus salip-menyalip
kalau garis akhirnya beda? Kalau anak tetangga nikah ahad pagi, kita enggak harus nikah tiga milidetik setelahnya. Toh setiap orang punya ikhtiar tersendiri untuk menyegerakan. Setiap orang punya takdirnya masing-masing.

2. “Kok gemukan?”
Obrolan seputar kegemukan masih membahagiakan sampai kita balita. Waktu masih balita, gemuk sama dengan sehat. Kita hepi pas montok sebadan-badan, dulu. Enggak tau siapa yang memelopori topik angka timbangan sebagai pembuka obrolan. Patokan utama, apalagi kalau bukan volume pipi dan lengkung derajat perut di balik kemeja.
Kita yang disinggung kok gemukan? cuma bisa menimpali singkat “iya nih”. Ya, gimana. Menggemuk kan hak asasi manusia. Kalau memang disengaja, enggak masalah. Konsep. Kalau enggak disengaja, baru deh masalah. Bisa jadi karena aktivitas yang mewajibkan banyak duduk, jarang berolahraga atau jadwal makan yang berantakan.
Saya pernah nonton Sarah Sechan waktu lagi diwawancara di layar kaca. Ada pernyataan “Saya heran sama budaya kita. Suka banget ngomentarin fisik orang yang udah lama enggak ketemu. ‘Gemukan, ya?’. Emangnya enggak ada bahasan lain?”

3. “Kerja dimana?”
Buat saya, kalimat ini kerasa pas saat ditanya sama mereka yang bekerja dan berstatus pegawai. Sayangnya enggak semua orang begitu, ada yang menggeluti bidang nirlaba atau ngembangin bisnis sendiri. Enggak heran pickup line ini jadi yang terpopuler sejak kita selalu pengen tau latar belakang seseorang lewat mata pencahariannya.
Saya pernah nanya sama seorang rekan dan langsung kikuk saat dijawab “Nganggur nih, masih nyari”. Ups, salah. Di kejadian kedua, saya ditanggapi “Kenapa semua orang nanya gitu, ya? Gw enggak kerja, gw peneliti”. Dari situ, saya sadar kalau enggak semua orang nyaman dengan pertanyaan kerja dimana? Saya pun merevisinya dengan kesibukan sekarang apa? karena siapapun pasti punya kesibukan walau enggak bekerja.
“Words can inspire. Words can destroy. Choose yours well”
“Trisula” lisan bisa melukai hati karena alasan yang hadir di belakangnya berpengaruh besar untuk sebagian orang: jodoh, penampilan dan karir. Ketidaknyamanan atas tiga pertanyaan klasik ini jadi hal tabu yang jarang mengemuka. Sepele, tapi penting.
Setiap orang akan menikah pada waktu-Nya sejak enggak ada yang tau persis kapan peristiwa-peristiwa penting terjadi di hidup kita. Setiap orang akan menggemuk atau mengurus pada waktunya sejak enggak ada yang pernah tau kapan pola hidup berubah. Setiap orang akan gemilang dengan cara-Nya sejak enggak ada yang pernah tau kemana takdir akan berarah.
Ada sejuta cara mengawali obrolan di momen reuni. Berbasa-basi enggak harus basi karena kesantunan tetap harus diutamakan semenjak yang kita temui adalah makhluk berperasaan. Maka, berkatalah saat memang harus. Lebih baik diam saat ucapan dirasa enggak berdayaguna. Alasannya sederhana.
Luka akibat kata-kata lebih menyengsarakan dibandingkan tertusuk trisula.

Reblog from : Kak Satria

Tidak ada komentar:

Posting Komentar